Selasa, 23 Desember 2008

Bangkit kaum muda menuntaskan permasalahan bangsa ini

Seperti kita telah pelajari didalam dunia kesejarahan Indonesia gerakan kaum muda mulai dari tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, sampai tahun 1998 telah melahirkan berbagai tokoh-tokoh yang merupakan anak jaman dengan berbagai konsep dan pemikirannya, gerakan Reformasi yang dicetuskan kaum muda pada tahun 1998, yang berarti telah berlangsung 10 tahun lamanya ternyata masih belum bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat, begitupun juga arus kebebasan demokrasi yang harusnya bisa lebih berperan untuk mewujudkan sebuah kesejahteraan rakyat ternyata hanya menjadi tumpangan dari sebuah praktik oligarkhi partai politik dengan tradisi feodalisme yang ujung-ujungnya adalah kembali lagi untuk ambisi libido kekuasaan elit-elit politik pendatang baru setelah jatuhnya rezim orde baru.
Saat ini di negara kita terjadi krisis multidimensional sebagai imbas dari inkonsistensi para pemimpin negara ini dalam menjalankan Pancasila dan UUD 1945, dimana makna hakiki dari kehidupan demokrasi di Indonesia memiliki sebuah cita-cita mulia seperti yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945 yang diibaratkan sebagai sebuah lentera penerang setelah Indonesia terlepas dari jaman kegelapan era kolonialisme yang menancapkan kuku selama 350 tahun di bumi pertiwi, tetapi dalam proses perjalanananya amanat dan cita-cita mulia tersebut tak pernah diwujudkan secara sungguh-sungguh oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini, budaya feodalisme, otoritarianisme anti kritik yang berangkulan mesra dengan kekuatan modal lebih banyak berperan didalam proses pembangunan demokrasi di Indonesia hal ini diperparah dengan tidak adanya kemandirian nasional sehingga inkonsistensi dalam pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 adalah sebuah hal yang tidak terhindarkan yang pada akhirnya kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya Indonesia berada pada titik nadir terendah dan Indonesia sangat sulit untuk bangkit dari keterpurukan.
Reformasi politik 1998 yang mengganti kediktatoran Soeharto sempat memberi janji bahwa perubahan akan segera datang. Presiden demi presiden berganti, kabinet dibongkar-pasang namun keadaan tidak beranjak membaik. Justru krisis semakin membelit: kemiskinan dan pengangguran merajalela, kebencian etnik dan agama dikobarkan, di pusat dan daerah orang memperebutkan lembaga negara dan menjadikannya sumber akumulasi kekayaan. Korupsi memporak-poranda tatanan politik, tidak ada lagi adab dan nilai. Indonesia terancam hilang dari pergaulan dunia.
Dalam keadaan ini kaum muda kembali terpanggil untuk bangkit. Republik ini berdiri untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Inilah arah dan jalan keluar dari krisis kita sekarang. Indonesia membutuhkan seorang pemimpin muda yang idealis dalam menjalankan Pancasila dan UUD 1945 hanya itu solusinya.

Selasa, 16 Desember 2008

BANGKIT DAN MELAWAN

“Bangkit Melawan”, sekilas melihat redaksi ini ibarat melihat sebuah fenomena kegiatan yang dilakukan secara ekstrim dan radikal. Seolah merepresentasikan sesuatu yang menentang arus dan dekat dengan sebuah pemberontakan. Mungkin kesan-kesan itulah yang akan ditangkap oleh kebanyakan orang ketika mendengar pertamakali kata bangkit melawan.
“Bangkit” mengandung makna filosofis yang lebih dalam lagi. Merefleksikan pada kondisi bangsa saat ini, maka makna “Bangkit” akan sangat sesuai sekali dan kontesktual. Kemiskinan, ketimpangan, korupsi, ketidakadilan dan ketergantungan merupakan refleksi kasat kondisi bangsa saat ini. Bangkit memiliki sebuah pesan semangat kepada seluruh tumpah darah Indonesia untuk segera berbenah, bergerak dan berubah menuju cita-cita luhur yang telah diidam-idamkan. Bangkit dari segala penyakit keterpurukan bangsa yang telang lama bersemayam di negeri ini adalah pesan umum dari kata “Bangkit” ini.Namun demikian, tiada perjuangan yang menyusur garis kebenaran tanpa adanya cobaan, hambatan, dan gangguan. Bangkit dari segala keterpurukan mendatangkan banyak konsekuensi logis yang tidak menyenangkan.
“Melawan!” adalah istilah yang hadir untuk mengingatkan para pembawa panji-panji perjuangan ini untuk sadar bahwa banyak hal yang akan menghadang. “Melawan” adalah sebuah kata yang mengekpresikan semangat dan wejangan akan perubahan yang progresif, tidak gentar dengan musuh-musuh kebenaran, dan sabar berada di garis perjuangan yang penuh lika-liku. “Melawan”, minimal kita dapat melawan diri kita sendiri dari rasa malas, berbohong, dan tidak amanah. Melawan nafsu diri sendiri adalah sebuah keniscayaan dalam menyusuri alam perjuangan ini. “Sudah selesai dengan dirinya sendiri” merupakan kata-kata yang cocok untuk menunjukan sebuah kemenangan dalam proses perlawanan terhadap diri sendiri. “Melawan” juga dapat diartikan dalam konteks “Melawan” yang sebenar-benarnya. Melawan pejabat korup, melawan petugas anarkis, ataupun melawan pemimpin yang lalim. Smeua itu merupakan arti “Melawan” yang paling keras! Hingga dapat disimpulkan bahwa "Melawan" memiliki spektrum yang luas dalam interpretasinya.
Maka refleksikan diri kita atas segala sesuatu yang telah kita jalani. Bangkit dan melawan dari segala ketidaka adilan, kezholiman dan keserakahan. Kobarkan selalu semangat perjuangan, karena perjuangan menggapai tujuan bukan ibarat membalik telapak tangan tetapi membutuhkan proses, waktu, kesabaran dan ke istiqomahan untuk sellu berada di jalurnya. Selamat Berjuang, Selamat Mempertahankan Idelisme, karena Yakinlah dengan kesungguhan kita, maka usaha kita akan sampai, membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Amiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnn.

Jumat, 12 Desember 2008

Gerakan Pemuda: Dari Diskusi ke Aksi

Setelah suasana sepi sejak "ABRI masuk kampus" pada tahun 1978, kelompok diskusi muncul menjadi kegiatan ”politik” pemuda yang populer. Ini terjadi pada pertengahan 1980-an. Terutama di berbagai kampus di Yogya, Jakarta, dan Bandung, kelompok diskusi ini menghidupkan kembali tradisi pergerakan pemuda yang telah dimulai sejak tahun 1920an,
Seperti uraian John Ingleson (1988) tentang kelompok-kelompok diskusi pemuda pada tahun 1920-an, berbagai kelompok diskusi pada pertengahan 1980-an ini menjadi wahana perbenturan ide-ide dan pencarian bentuk masyarakat baru yang lebih adil dan demokratis. Di dalamnya, kepekaan pemuda pada problem sosial dipertajam.
Berbeda dengan pengelompokan pemuda pada tahun 1960-an yang umumnya mengikuti garis partai dan ideologi, kelompok-kelompok baru ini lebih cair dan lentur. Pada suatu saat, dengan mengundang Nurcholish Madjid sebagai pembicara misalnya, mereka bisa sangat terpukau oleh semangat modernisasi Islam dan merindukan kembalinya Masyumi. Pada saat yang lain, dengan berdiskusi bersama Arief Budiman, mereka larut dan terbuai dalam cita-cita besar kaum sogialis.
Hanya sekitar empat tahun kemudian, kelompok diskusi tidak lagi memadai untuk menampung aspirasi baru yang berkembang. Lahirlah kegiatan lain yang lebih bersifat massal dan politis, yaitu demonstrasi dan mimbar bebas. Seperti kebetulan, panggung politik nasional pun, yang saat itu sedang semarak dengan isu-isu penting seperti tuntutan keterbukaan dan regenerasi kepemimpinan nasional, memberi ruang gerak yang lebih 1eluasa bagi para aktivis untuk lebih nyaring menyuarakan protes.
Maka, menjelang akhir 1980-an, sebagai reaksi terhadap berbagai kasus kontroversial (kasus Lampung, Kedungombo, buku terlarang, d1l.), demonstrasi dan mimbar bebas pun terjadi beruntun. Mereka memberi suatu hal yang dalam dunia politik kita masih sangat langka: kritik-kritik yang tajam dan terbuka.
Seperti juga dalam kelompok-kelompok diskusi, pengelompokan dalam kegiatan "parlemen jalanan" tidak terkait dengan organisasi-organisasi besar kepemudaan, dan tidak juga dengan berbagai organisasi sosial-politik yang lebih besar. Ikatan solidaritas yang mengikat mereka dengan demikian tidak jauh beranjak dari sekadar solidaritas perkawanan, yang dijalin hanya oleh romantika yang sama, yakni kerinduan pada pembaruan masyarakat.
Mudah ditebak, cair dan "soliternya" pengelompokan demikian menyebabkan para aktivis itu sulit memobilisasi dan memperlebar barisan pendukungnya, baik di kalangan kampus, di pabrik-pabrik, apalagi di kalangan pemerintahan. Dalam dua tahun pertama, setiap aksi mereka paling jauh hanya melibatkan ratusan aktivis.
Selain itu, perpecahan jadinya sangat mudah tercipta (atau diciptakan)-perpecahan yang lebih banyak mengikuti garis personal, bukan “politiS” dan ideologis. Dari kalangan mereka sendiri muncul olok olok; kalau lima aktivis berkumpul dan sepakat mengadakan sebuah aksi, setelah itu akan tercipta enam kelompok. Tidak heran jika di antara tokoh-tokoh utama demonstrasi dan kelompok diskusi saling mencungai.
Kegiatan "parlemen jalanan" kemudian melemah, bukan pertama-tama karena pemberangusan oleh otoritas politik, melainkan karena kekurangan dan perpecahan mereka sendiri. Tahun 1990 barangkali menandai titik terendah dari grafik aksi-aksi radikal pemuda.
Namun, pada tahun berikutnya, ada tanda-tanda bahwa aksi-aksi mereka mulai bingkit lagi. Ini terlihat dari meningkatnya protes petani ke DPR dan DPRD, pemogokan buruh yang hampir beruntun, dan aksi-aksi perlindungan lingkungan hidup. Dalam hampir semua peristiwa ini, di dalamnya dengan mudah terlihat peran pemuda yang telah terlibat dalam aksi-aksi protes sebelumnya, baik sekadar sebagai katalisator maupun sebagai aktor yang berdiri di depan. Aksi-aksi mereka yang lain, yaitu misalnya aksi anti-SDSB dan Peringatan Hak-Hak Asasi Manusia se-Dunia pada awal Desember ini, telah melibatkan jumlah aktivis yang semakin besar, bahkan terbesar sejak akhir 1980-an--di Yogya saja, kedua aksi ini diikuti tidak kurang dari tujuh ribu pemuda.
Tentu saja masih harus ditunggu lebih lanjut apakah aksi-aksi itu sekadar pertanda kematian, utau justru isyarat awal sebuah arus yang lebih dahsyat. Konteks politik kita dalam satu atau dua tahun ke depan kurang lebih bisa memberi gambaran kasar ke arah mana gerakan pemuda itu akan terseret.
Seperti yang telah jadi pengetahuan umum, salah satu perkara besar dalam konteks politik kita adalah soal sirkulasi elit. Semakin lama, perkara ini semakin eksplosif, bagai bisul yang terus membusuk. Kita belum pernah mengalami dan mengerti bagaimana memutar roda kepemimpinan tanpa krisis dan keributan. Karenanya, bisa dimengerti jika, dalam menyelesaikan perkara ini nanti, akan terjadi tarik-menarik yang seru antara berbagai kekuatan politik di tingkat pusat. Seperti yang sudah kita alami, kalau hal demikian terjadi, satu, atau semua, kekuatan politik yang bersaing itu akan mencari "kaki" ke bawah, ke kalangan pemuda.
Maka, bagi pemuda, tersaji dua kemungkinan: menjadi ujung tombak pembaruan seperti pada tahun 1966 dan 1998, atau mengalami pemberangusan hingga ke akar-akarnya persis pada tahun 1974 dan 1978. Pada kemungkinan yang pertama, pemuda sekali lagi akan menjadi pahlawan. Pada yang kedua, tuduhan sebagai biang kerok keonaran pasti akan dihujatkan kepadanya.
Kalaulah kemungkinan terakhir yang terjadi, para aktivis muda itu pasti akan surut dari gelanggang politik. Tapi, seperti yang berkali-kali tercatat dalam sejarah pergerakan pemuda kita, suasana sepi dan lesu dalam beberapa tahun akan berganti lagi dengan gairah dan hiruk-pikuk protes-protes mereka. Sejarah memang sering berulang.

Jumat, 05 Desember 2008

Kebobrokan Ide HAM

HAM (Hak Asasi Manusia) sesungguhnya hanyalah salah satu instrumen Barat dalam menyebarkan ideologi Kapitalismenya. Paham ini lahir dari sekularisme Barat, yang memisahkan agama dalam urusan kehidupan, yang sarat dengan ide kebebasan/liberalisme.
Berkembangnya ide HAM ini di tengah-tengah kehidupan jelas atas kepentingan Barat. Baratlah yang selama ini paling getol mengkampanyekan HAM. Program utama Kedutaan Besar AS sekarang di Indonesia adalah tentang HAM. Beberapa waktu lalu diwartakan, PBB mengirim? pelapor khusus? Mafred Nowak, ke Indonesia untuk meneliti masalah-masalah yang berkaitan dengan penyiksaan, kekejaman, perlakuan tidak manusiawi, merendahkan dan hukuman. Hasil dan rekomendasinya disampaikan ke Dewan HAM PBB (AntaraNews, 15/9/07).
Dengan HAM, Barat juga terus berupaya menyerang dan memojokkan kaum Muslim dan hukum-hukum Islam. Aturan-aturan Islam yang agung sering digerogoti oleh isu-isu HAM. Syariah dan Khilafah sebagai solusi politis terhadap peradaban yang kronis sering diserang dengan HAM. Pornografi dan pornoaksi yang jelas-jelas merusak tatanan keluarga dan sosial masyarakat, berjalan mulus dengan lokomotif HAM. Lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan sering dibuat gamang dalam menindak berbagai kasus kriminal dan perilaku yang meresahkan masyarakat ketika dihadapkan dengan HAM. Benturan terbesar Mahkamah Konstitusi ketika memutuskan pidana mati terpidana narkotika pun adalah HAM. Di sisi lain, Lembaga HAM tidak lebih dari sekadar keranjang sampah penampung berbagai pengaduan tindak kezaliman, tanpa bisa berbuat apa-apa.


Dampak Isu HAM di Indonesia
Karena ide dasar HAM nilai-nilai liberal (dalam bahasa lain mereka menyebutnya hak-hak alamiah/natural right) maka liberalisasi politik, liberalisasi sosial, liberalisasi dalam berkeyakinan, ekonomi dan sebagainya pada akhirnya akan menjadi suatu keniscayaan.
Ketika HAM merasuk dalam dunia politik, mainstream politik adalah liberalisasi kehidupan politik. Politik pada akhirnya terfokus pada cara-cara meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Jauh dari tujuan memenuhi dan melayani kepentingan rakyat. Beberapa waktu yang lalu, ketika di beberapa daerah terjadi bencana, para pemimpin dan pejabat malah mengambil sikap mengungsi dan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan (Republika.co.id, 17/09/2007). Lembaga DPR juga semakin mempertontonkan ketidakpeduliannya terhadap rakyat. Kepentingan rakyat seperti Anggaran Pendidikan 20% yang merupakan amanat Konstitusi, jutaan masyarakat yang menuntut pelarangan tindakan pornografi dan pornoaksi dengan UU, interpelasi beras, interpelasi Lapindo, tidak pernah diurus. Yang terjadi justru renovasi Gedung Mewah DPR seharga Rp 40 milyar. Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR menyetujuinya. (Media Indonesia, 06/09/2007)
Carut-marut kehidupan politik semakin transparan ketika kran Orde Reformasi terbuka. Atas nama HAM dan demokrasi semua orang bebas bicara. Atas nama HAM berbagai daerah kemudian melakukan protes dan aksi-aksi ketidakpuasan. Konflik antara pusat dan daerah pada akhirnya sering terjadi. Masing-masing daerah menginginkan pengaturan daerahnya secara otonom. Pada titik akhir, keutuhan NKRI menjadi taruhannya.
Barat pun tidak tinggal diam. RI-Kanada beberapa waktu yang lalu menandatangani MoU proyek senilai Rp 174.3 miliar untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan desentralisasi dan penguatan tata pemerintahan daerah secara merata dan peka jender (AntaraNews, 25/09/2007).
Gejala separatis mulai dari Aceh, Papua, Riau, Maluku, serta beberapa daerah lain disuarakan atas nama HAM. Berpisahnya Timor Timur dari NKRI adalah contoh yang paling jelas bahwa isu HAM begitu efektif untuk mencabik-cabik negeri-negeri Islam.
Rangkaian berikutnya dari dampak HAM adalah pada kehidupan sosial masyarakat. Atas nama HAM, liberalisasi kehidupan sosial bermasyarakat telah menghasilkan pola kehidupan tanpa aturan. Perilaku pornoaksi dan pornografi media begitu menyeruak. Hasil survey tahun 2006 oleh Yayasan Pengembangan Media Anak menyebutkan, hampir 50% sinetron remaja menawarkan kekerasan, propaganda seks bebas maupun atribut sekolah yang tidak benar (Republilka, 2/10/07). Tidak aneh jika negeri ini menjadi salah satu surga terbesar bisnis ?esek-esek? di dunia.
Akibat buruk yang bisa kita rasakan bebasnya tata nilai kehidupan ini adalah tercerabutkan rasa malu dan hilangnya perasaan dosa ketika generasi Muslim melakukan tindak kepornoan. Keadaannya seolah semakin sempurna ketika TV-TV swasta menjualnya dengan melegitimasi HAM dan keniscayaan kehidupan modern.
Dampak buruk lain yang baru-baru ini kita rasakan dari HAM adalah munculnya berbagai sekte-sekte agama, aliran-aliran yang mengatasnamakan Islam, namun hakikatnya menghancurkan Islam. Berdasarkan analisis Aliansi Umat Islam (Alumni), di Indonesia aliran sesat yang mengatasnamakan Islam sejak tahun 1980 sampai tahun 2006 jumlahnya mencapati 250 aliran (Republika, 1/11/07).
Ahmadiyah yang jelas-jelas bukan bagian dari Islam, bahkan meresahkan kebanyakan masyarakat, tetap sulit ditindak ketika dihadapkan dengan HAM. Belum selesai masalah Ahmadiyah, sekarang masyarakat diresahkan dengan aliran sesat Al-Qiyadah al-Islamiyah dengan pemimpinnya Ahmad Moshshaddeq yang mengaku sebagai rasul. Pembelaan mereka dan kaum Liberal di negeri ini sama, tolok-ukurnya HAM. Terkait dengan masalah aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah ini, MUI terus melakukan sosialisasi kepada para ulama dan masyarakat hingga tingkat bawah, termasuk kepolisian. Sebab, selama ini kaum liberal getol membela perusak citra Islam dengan menyerang balik MUI atas nama HAM (Republika, 26/10/07).
Dari penetapan kebebasan individu dalam pemikiran HAM Barat, dihasilkan juga sekolah perekonomian yang akan menjadi inti berdirinya sistem Ekonomi Kapitalis. Sistem ekonomi ini berdiri di atas ide dasar inisiatif individu, kebebasan ekonomi, dan tidak adanya intervensi negara terhadap aktivitas ekonomi individu. Sistem ini juga bersandar pada invisible hand (tangah gaib) bagi tercapainya keseimbangan dan stabilitas dalam negeri. Hak dasar (alamiah) Barat dalam memandang ekonomi juga akan menghasilkan dan bahkan melegalkan kemiskinan. Kepapaan terkonsentrasi pada orang-orang yang lemah karena mereka tidak mampu bertarung bebas dalam kehidupan.
Pada kenyataannya sekarang, pasar bebas, privatisasi di berbagai sektor ekonomi, eksploitasi sumberdaya alam secara bebas oleh swasta adalah konsekuensi logis dari kehidupan ekonomi kapitalis tersebut. Sistem ekonomi pasar bebas membuat negeri-negeri Islam menjadi obyek pasar negara-negara besar. Negeri-negeri Islam di giring pada perjanjian-perjanjian yang mengikat dan melegalkan mereka menjadi negara yang konsumtif.
Akhir-akhir ini pembangunan ekonomi telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Keuntungan dan efesiensi ekonomi serta pertumbuhan yang menjadi tolak ukur, bukan kesejahteraan (Republika, 28/10/07). Kesenjangan sosial pun akan semakin terbuka lebar. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa memicu siklus kekerasan yang selalu terjadi setiap lima tahun terakhir (ANTARA News, 23/10/20).
Privatisasi sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan menjadikan masyarakat semakin terpuruk. Orang miskin seolah dilarang sekolah dan jangan sakit! Kekayaan alam seperti minyak bumi, gas, emas, dan bahan tambang lainnya terus dikeruk oleh swasta/asing, sementara masyarakat hanya bisa menonton. Masyarakat di negeri ini harus mengantri beli minyak tanah, di negeri yang kaya akan minyak. Benar-benar ironis!

Kamis, 20 November 2008

PARTISIPASI PEMUDA DALAM MENGISI PEMBANGUNAN NASIONAL

Dalam rancangan Undang Undang tentang kepemudaan, defisi pemuda menunjuk kepada orang yang berusia 18 sd. 35 tahun. Tentu penetapan margin usia ini lebih dahulu telah melampaui kajian akademis untuk mendapatkan rumusan yang tepat bagi kondisi demografi kepemudaan di tanah air.
Berdasarkan data Susenas 2006, jumlah pemuda Indonesia tahun 2006 mencapai 80,8 juta jiwa atau 36,4 persen dari total penduduk yang terdiri dari 40,1 juta pemuda laki-laki dan 40,7 juta pemuda perempuan. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, tampak bahwa pemuda yang tinggal di pedesaan jumlahnya lebih banyak daripada pemuda yang tinggal di perkotaan (43,4 juta berbanding 37,4 juta).
Dengan jumlah yang amat besar, maka peran strategis pemuda dalam pembangunan nasional sangatlah penting artinya dan telah dibuktikan didalam berbagai peran pemuda seiring dengan perjalanan dan denyut jantung kehidupan suatu bangsa. Oleh sebab itulah diskusi mengenai peran pemuda dalam berbagai sisi kehidupannya tidak akan pernah habis dan tidak pernah mati termasuk yang sedang kita bicarakan didalam seminar kali ini.
Menangani pemuda ibarat memegang sabun, tidak boleh terlalu kuat karena bisa mencolot keluar dan tidak boleh terlalu lembek karena bisa tergelincir jatuh. Menangani pemuda ibarat memelihara singa, bila kita pandai membujuk, ia akan tunduk dan patuh kepada kita, namun bila sebaliknya, maka ia akan menyerang kita sendiri.
Peranan pemuda dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia memang bersifat dominan dan monumental. Di era pra-kemerdekaan maupun di era kemerdekaan, pemuda selalu tampil dengan jiwa kepeloporan, kejuangan, dan patriotismenya dalam mengusung perubahan dan pembaharuan. Karya-karya monumental pemuda itu dapat ditelusuri melalui peristiwa bersejarah antara lain; Boedi Oetomo (20 Mei 1908) yang kemudian diperingati sebagai Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda(28 Oktober 1928), Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), transisi politik 1966, dan Gerakan Reformasi 1998.
Peristiwa lahirnya Boedi Oetomo 1908 menjadi bukti bahwa pemuda Indonesia memiliki inisiatif untuk mengubah peradaban bangsanya. Ketika itu, menyaksikan metoda perjuangan kemerdekaan yang masih mengandalkan sentimen kedaerahan (etnosentrisme), pemuda berinisiatif untuk mengubah strategi perjuangan kemerdekaan dalam konteks peradaban yang lebih maju, yakni dengan memasuki fase perjuangan berbasis kesadaran kebangsaan (nasionalisme), untuk menggantikan semangat kedaerahan yang bersifat sporadis dan berdimensi sempit.
Pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928, pemuda kembali menunjukkan perannya sebagai pengubah peradaban bangsa. Sumpah Pemuda merupakan fase terpenting yang dicetuskan pemuda dalam prosesi kelahiran nation-state Indonesia. Secara prinsip, Sumpah Pemuda merupakan kesepakatan sosial (social agreement) dari segenap komponen rakyat demi melahirkan entitas “Indonesia”. Halmana disusul oleh kesepakatan politik Para Pendiri Bangsa berupa Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang melahirkan negara Indonesia merdeka yang berbasiskan pada platform dasar: NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Di setiap babak sejarah bangsa ini, pemuda selalu berusaha mempertahankan idealisme kejuangan dan militansi gerakannya. Seusai kemerdekaan, pemuda secara konsisten tetap berikhtiar dan berperan dalam menentukan hitam-putihnya masa depan negeri ini. Di era pembangunan yang ditandai oleh beberapa kali pergantian rezim kekuasaan, pemuda menunjukkan bargaining position yang kuat, termasuk ketika Indonesia memasuki era transisi demokrasi bernama gerakan reformasi. Sejarah pergerakan nasional telah membuktikan bahwa pemuda memiliki posisi dan peran strategis dalam mengubah peradaban bangsanya.
Ketika menerima mandat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 yang lalu, Menpora Adhyaksa Dault langsung menempuh langkah-langkah mendasar untuk mengakselerasi pembangunan kepemudaan dan keolahragaan di Indonesia. Menpora memandang bahwa pemuda dan olahraga merupakan dua pilar bangsa yang amat penting untuk menguatkan pembentukan karakter bangsa (nation and character building). Inilah sesungguhnya pandangan dasar atau basis kebijakan Menpora yang selanjutnya harus diderivasikan dan dikonkritkan melalui program kerja dan kegiatan Kemenegpora.
Basis kebijakan pemerintah berasas pada Tiga Agenda Pokok Pemerintahan SBY-JK yakni menciptakan Indonesia yang aman dan damai; menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Berpedomankan tiga agenda pokok tersebut, program pembangunan kepemudaan dan keolahragaan dirumuskan, dijalankan, dan dievaluasi demi menopang pembangunan nasional yang bermuara pada tercapainya kesejahteraan rakyat.
Dalam kapasitas sebagai regulator, Pemerintah melalui Kemennegpora telah menempuh sejumlah kebijakan mendasar guna mengakselerasi pembangunan kepemudaan dan keolahragaan. Bersama dengan DPR, Kemennegpora telah melahirkan UU Sistem Keolahragaan Nasional (UU/3/2005). Saat ini, Kemennegpora sedang berkonsentrasi mempersiapkan lahirnya undang-undang kepemudaan. Dalam hubungan ini, telah dirampungkan Naskah Akademis sekaligus materi RUU Kepemudaan, dan telah pula disosialisasikan ke segenap stakeholders. Selain itu, materi RUU Kepemudaan telah diharmonisasikan dengan berbagai instansi terkait dan segenap stakeholders kepemudaan.
Pergeseran paradigma pemuda sebagai social category dilakukan mengingat potensi kualitatif dan kuantitatif dari pemuda yang bersifat strategis. Kiranya dimaknai bahwa positioning pemuda dalam konfigurasi kehidupan bangsa bersentuhan langsung dengan masa depan bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, dari perspektif pemuda sebagai social category, pemuda mesti terus mengalami pemberdayaan (empowering), baik dengan ditopang oleh regulasi pemerintah, maupun oleh kemampuan pemuda untuk mandiri.
Adapun paradigma pemuda sebagai social category dapat dimaknai dari tiga perspektif, yakni: Pertama, perspektif filosofis; bahwa pemuda sebagaimana kodrat manusia adalah makhluk sosial (homo socius) yang memiliki peran eksistensial dengan beragam dimensi antara lain dimensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Artinya, secara kodrati pemuda mesti menjalankan peran eksistensialnya sebagai makhluk sosial.
Kedua, perspektif historis; pasca gerakan reformasi 1998, terjadi pergeseran paradigma di semua lini publik. Di masa lalu, pemuda cenderung diposisikan sebagai komoditas politik sehingga mengakibatkan bargaining position pemuda menjadi amat lemah. Halmana mengakibatkan kurang terapresiasinya pemuda yang berada di luar area kelompok elite. Pergeseran paradigma pemuda sebagai social category dimaksudkan untuk memposisikan pemuda sebagai aset strategis bangsa.
Ketiga, perspektif kompetensi; bahwa pemuda merupakan segmen warga negara yang memiliki aneka kompetensi yang dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Paradigma pemuda sebagai social category sesungguhnya hendak menegaskan bahwa apresiasi terhadap \pemuda melingkupi seluruh lapis profesi pemuda termasuk yang memilih politik sebagai domain praksis profesionalnya. Artinya, para pemuda yang memipemuda itu tapi justru hendak menegaskan bahwa hak-hak politik merupakan bagian yang tidak terpisahkan (inherent) dari eksistensi pemuda sebagai social category.
Mengingat peran strategis pemuda, serta selaras dengan basis kebijakan Menpora, maka sudah saatnya diperlukan keberadaan payung hukum yang bersifat permanen dalam konteks pembangunan kepemudaan. Dengan begitu, pemuda memperoleh jaminan dari negara atas hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Dalam hubungan ini, Kemenegpora saat ini sedang mempersiapkan kelahiran undang-undang kepemudaan yang kini sudah dalam wujud RUU Kepemudaan, dan telah disosialisasikan kepada segenap pemangku kepentingan (stakeholders).
1. Masalah Kepemudaan.
Sebelum mengelaborasi mengenai partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional, sejenak kita simak permasalahan yang melingkupi pemuda antara lain:
a. Misorientasi pemuda dalam menatap masa depan yang cenderung melihat politik sebagai panglima; akibatnya pemuda berlomba-lomba merebut kekuasaan dibidang politik, bukan dibidang ekonomi;
b. Rendahnya akses dan kesempatan pemuda untuk memperoleh pendidikan;
c. Rendahnya minat membaca di kalangan pemuda yaitu sekitar 37,5 persen;
d. Rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pemuda yaitu sekitar 65,9 persen;
e. Belum serasinya kebijakan kepemudaan di tingkat nasional dan daerah;
f. Tingginya tingkat pengangguran terbuka pemuda yang mencapai sekitar 19,5 persen;
g. Maraknya masalah-masalah sosial di kalangan pemuda, seperti kriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan HIV.
h. Ancaman harga diri bagi pemuda akibat adanya terorisme;
i. Penyaluran aspirasi yang cenderung destruktif.
2. Diagnosa Mempercepat Partisipasi Pemuda Dalam Pembangunan Nasional
Dengan memahami permasalahan pemuda, maka diagnosa atas permasalahan itu akan dilakukan secara lebih tepat, yang pada gilirannya akan memacu partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional. Sehubungan dengan ini, Pemerintah, dalam hal ini Kemennegpora meletakkan prioritas pembangunan kepemudaan pada aspek:
a. Nation and Character Building (pembangunan watak manusia Indonesia)
b. Peningkatan kapasitas dan daya saing pemuda
Guna mendorong partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional, maka pemerintah meletakkan paradigma pembangunan kepemudaan sebagai berikut:
a. Mengutamakan Pemuda Sebagai Kategori Sosial (Social Category) dari pada Kategori Politik (Political Category)
b. Menghindarkan tiga langkah traumatis dalam pembangunan kepemudaan yakni:
1) Pembinaan
2) Pengawasan
3) Pengaturan
c. Melakukan reformasi pembangunan kepemudaan dengan melaksanakan tiga langkah pembangunan kepemudaan, yakni:
1) Pemberdayaan
Upaya yang dilakukan secara sistematis guna membangkitkan potensi pemuda agar berkemampuan untuk berperan serta dalam pembangunan. Memposisikan pemuda sebagai potensi dan kader yang harus dikembangkan. (Memperjelas mana terigu, mana roti).
2) Pengembangan
Pengembangan pemuda yaitu upaya sistematis yang dilakukan untuk menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan, kewirausahaan dan kepeloporan pemuda.
3) Perlindungan
Upaya sistematis yang dilakukan dalam rangka menjaga dan menolong pemuda terutama dalam menghadapi hal-hal sebagai berikut :
a) Demoralisasi
b) Degradasi Nasionalisme
c) Penetrasi paham non Pancasilais
d) Pengaruh Destruktif seperti Narkoba dan HIV/AIDS,
e) Perlindungan terhadap proses regenerasi, serta
f) Perlindungan terhadap hak dan kewajiban pemuda.
3. Sepuluh Kegiatan Prioritas Pembangunan Kepemudaan
Guna memotivasi pemuda untuk membangkitkan peranannya dalam pembangunan nasional, maka pemerintah menetapkan 10 kegiatan prioritas khusus dalam bidang pemberdayaan pemuda.
a. Menyelesaikan dan mensosialisasi UU tentang kepemudaan
b. Meningkatkan keserasian kebijakan pemuda;
c. Menyelenggarakan pertukaran pemuda antar negara;
d. Menyelenggarakan Pendidikan Bela Negara dan Jambore Pemuda Indonesia;
e. Mengembangkan wawasan dan kreativitas pemuda;
f. Mengembangkan Sentra Pemberdayaan Pemuda;
g. Meningkatkan Kapasitas IPTEK dan IMTAK Pemuda;
h. Memperluaskan Pilot Project Pengembangan Rumah Olah Mental Pemuda Indonesia (ROMPI);
i. Meningkatkan Pengelolaan Lembaga Kepemudaan;
j. Mengembangkan Sistim Informasi Lembaga Kepemudaan
4. Peran Strategis Yang Harus Di Lakukan Oleh Pemuda Dalam Pembangunan Nasional.
Peran strategis sebagai upaya yang harus dilakukan oleh para pemuda dalam mengakselerasi pembangunan nasional adalah mendorong terciptanya :
• Iklim Kondusif
• Harmonisasi
• Good Governance
a. Iklim Kondusif
Iklim kondusif sangat diperlukan dalam mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan sangat ditentukan oleh seberapa besar kehidupan perekonomian itu bisa berjalan. Sementara nafas dari kegiatan perekonomian ialah berlangsungnya investasi dalam segala bentuk manivestasinya. Dengan berjalannya dunia investasi maka berdampak kepada semakin terbukanya lapangan pekerjaan. Dengan terbukanya lapangan perkerjaan tentu saja upaya mempertahankan hidup akan dilakukan dengan cara yang benar, sehingga para pemuda dapat terhindar dari perbuatan yang tidak benar seperti : mencuri; merampok (skala besar maupun kecil); mencopet; memeras; pungli; mengoplos minyak; menyelundup; dagang narkoba; dagang ABG; berjudi; korupsi/menyalahgunakan jabatan; dan lain sejenisnya. Sebaliknya bila iklim tidak kondusif, maka dunia investasi tidak akan dapat berjalan dengan baik, sehingga lapangan pekerjaan tertutup dan orang dalam mempertahankan hidupnya akan menggunakan cara-cara yang tidak benar.
b. Harmonisasi.
Sumber-sumber konflik yang sering terjadi didalam masyarakat majemuk biasanya berasal dari persentuhan antara orang yang memiliki kesamaan ciri dengan kelompok lain yang berbeda latar belakangnya seperti; agama, etnis, pandangan politik, kelompok kepentingan atau organisasi serta perbedaan lainnya.
Indonesia adalah suatu bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk. Oleh sebab itu upaya untuk memelihara harmonisasi sangat penting artinya agar masyarakat dalam berbagai posisi dan lapisannya dapat hidup berdampingan secara damai. Tentu saja keadaan ini juga berkaitan erat dengan iklim kondusif itu. Oleh karenanya forum-forum yang dapat mengakomodir kemajukan seperti Forum Komunikasi Antar Pemuda Agama, Forum komunikasi Lintas Adat, Forum Komunikasi Lintas Pemuda, sangat penting artinya sebagai kawasan penyangga bila terjadi ancaman terhadap terusiknya suasana harmonis itu. Disinilah para pemuda dapat memainkan perannya sebagai garda terdepan untuk bisa menjaga suasana harmonis itu terutama dilingkungan pergaulannya sendiri (peer group nya). Konflik-konflik yang mungkin muncul karena disebabkan adanya persoalan dikalangan pemuda, segera dapat diatasi dengan mengefektifkan peran komunikasi lintas pemuda, sehingga masalah yang kecil tidak sampai melebar dan menyebakan terjadi konflik horizontal antar sesama pemuda.
c. Good Governance.
Sepuluh prinsip Tata Pemerintahan yang baik yang selama ini telah menjadi pedoman bagi penyelenggaraan tata pemerintahan di Indonesia ialah : (1) Partisipasi, (2) Penegakan Hukum, (3) Transparansi, (4) Kesetaraan, (5) Daya Tanggap, (6) Wawasan ke Depan, (7) Akuntabilitas, (8) Pengawasan, (9) Efisiensi & Efektifitas, dan (10) Profesionalisme. Sepuluh prinsip ini sejalan dengan perkembangan penyelenggaran sistem pemerintahan di Indonesia yang merubah asas sentralisasi menjadi desentralisasi yang dikenal dengan otonomi daerah.

Salah satu tujuan pemberian otonomi adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat. Untuk itu pemerintah daerah dituntut memahami secara lebih baik kebutuhan masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan. Pemerintah daerah harus melibatkan seluruh unsur masyarakat dalam proses pembangunan. Tata-pemerintahan di daerah harus diselenggarakan secara partisipatif. Penyelenggaraan pemerintahan yang eksklusif hanya melibatkan unsur pemerintah dan/atau legislatif akan membuat masyarakat tidak peduli pada pembangunan. Hal ini lebih lanjut akan menyebabkan keberlanjutan pembangunan menjadi sangat rapuh dan rentan.
Partisipasi masyarakat dapat terwujud seiring dengan tumbuhnya rasa percaya masyarakat kepada para penyelenggara pemerintahan di daerah. Rasa percaya ini akan tumbuh apabila masyarakat memperoleh pelayanan dan kesempatan yang setara (equal). Tidak boleh ada perlakuan yang didasari atas dasar perbedaan pria-wanita, kaya-miskin, kesukuan dan agama. Pembedaan perlakuan atas dasar apapun dapat menumbuhkan kecemburuan dan mendorong terjadinya konflik sosial di masyarakat.
Guna terlaksananya prinsip-prinsip Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, para pemuda dapat memainkan perannya baik secara partisipatif yang terlibat langsung didalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dengan menggiatkan upaya-upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan posisi dan peran historisnya, pemuda memiliki potensi strategis untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Melalui persebaran potensi dan kualitas pemuda yang merata di berbagai lini pengabdian sosial, para pemuda diharapkan mampu memosisikan dirinya sebagai kader-kader bangsa yang tangguh dalam meneruskan perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan. Kita berharap, pemuda mampu membentuk dirinya sebagai pemimpin bangsa di masa depan, dan mampu menggapai masa depan Indonesia yang lebih bermartabat, di bawah payung NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

GENERASI MUDA DAN KEMANDIRIAN BANGSA

Di tengah arus mondial yang tergambarkan dalam wujud globalisasi sekarang ini, isyu “kemandirian bangsa” bukan hanya merupakan sesuatu yang penting, tetapi sekaligus merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia. Ada cukup banyak perspektif yang dapat diajukan tentang kemandirian bangsa Indonesia, termasuk oleh pemuda.
Mendiang Presiden Soekarno misalnya memaknai kemandirian bangsa dalam apa yang disebutnya sebagai “Tri Sakti” yakni berkedaulatan di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Begitu pun dengan pemimpin Indonesia lainnya termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak awal kepemimpinannya terus memacu semangat kemandirian bangsa, agar kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia, yang dari aspek peradaban dan ilmu pengetahuan sudah lebih dulu maju.
Kemandirian bangsa tentu saja menjadi atensi dari semua elemen bangsa khususnya pemuda sebagai pengemban masa depan bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda memiliki peranan sejarah yang penting dan berkelanjutan dalam perjalanan kehidupan berbangsa. Mengingat peranan dan posisinya yang strategis dalam konfigurasi kehidupan kebangsaan, sudah sepatutnya pemuda mesti dipandang sebagai aset sosial bangsa yang strategis. Secara kuantitatif, jumlah pemuda Indonesia hampir mencapai 40 persen dari total 200-an juta penduduk Indonesia atau sekitar 80 juta jiwa. Sedangkan secara kualitatif, pemuda pun memiliki talenta dan kapasitas yang cukup memadai untuk menjalankan tugas-tugas kepeloporan dalam pembangunan nasional, demi menuju pencapaian kemandirian bangsa.
Berkaitan dengan kebijakan pembangunan kepemudaan, pemerintahan sekarang ini memiliki visi yang reformis sekaligus progresif dalam menyusun regulasi kepemudaan. Sejak ditunjuk Presiden SBY untuk memimpin Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Menpora Adhyaksa Dault berupaya optimal menyusun regulasi pembangunan kepemudaan yang lebih berpengharapan bagi masa depan pemuda. Sejak awal Menpora Adhyaksa Dault mengintrodusir pergeseran paradigmatik dengan memosisikan ”pemuda sebagai social category”, dan bukan lagi sebagai political category seperti realitas kekuasaan di masa lalu.
Pergeseran paradigma ini merupakan antitesa atas realitas kekuasaan masa lalu yang cenderung memposisikan pemuda hanya sebagai komoditas politik belaka. Adapun paradigma pemuda sebagai social category dapat dimaknai dari tiga perspektif yakni; Pertama, perspektif filosofis; bahwa pemuda sebagaimana kodrat manusia adalah makhluk sosial (homo socius) yang memiliki peran eksistensial dengan beragam dimensi antara lain dimensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Artinya, secara kodrati pemuda mesti menjalankan peran eksistensialnya sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial.
Kedua, perspektif historis; pasca gerakan reformasi 1998, telah terjadi pergeseran paradigma di hampir setiap lini publik. Di masa lalu, pemuda cenderung diposisikan sebagai komoditas politik sehingga mengakibatkan bargaining position pemuda sebagi aset sosial menjadi amat lemah. Halmana mengakibatkan kurang terapresiasinya pemuda yang berada di luar area kelompok elitis. Pergeseran paradigma pemuda dari political category ke social category dimaksudkan untuk memposisikan pemuda sungguh-sungguh sebagai aset sosial bangsa yang strategis.
Ketiga, perspektif kompetensi; bahwa pemuda merupakan segmen warga negara yang memiliki aneka kompetensi yang dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Paradigma pemuda sebagai social category sesungguhnya hendak menegaskan bahwa apresiasi terhadap pemuda melingkupi seluruh lapis profesi pemuda termasuk yang memilih politik sebagai domain praksis profesionalnya. Artinya, hak-hak politik pemuda merupakan bagian yang tidak terpisahkan (inherent) dari eksistensi pemuda sebagai social catagory.
Dari perspektif pemuda sebagai social category, kita tentu saja sangat menyadari bahwa pemuda mesti terus mengalami pemberdayaan (empowering), baik dengan ditopang oleh regulasi negara/pemerintah, maupun oleh kemampuan untuk mandiri. Spirit kepeloporan dan kejuangan dengan sendirinya mesti terus-menerus dipacu untuk dapat bertumbuh dan menjadi tradisi hidup pemuda.
Dalam konteks regulasi, penyelesaian problematika kepemudaan tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan penanganan yang bersifat komprehensif dan terkoordinasikan secara interdepartemental (interdep), dengan pendekatan penyelesaian yakni “menuntaskan akar masalah” , dan bukan hanya sekedar “menyentuh ekses atau dampak masalah”.
Sebagaimana diketahui betapa kompleksnya problematika kepemudaan di tanah air. Problematika kepemudaan itu terus berkembang sesuai perkembangan dan problematika sosial kemasyarakatan. Namun, secara sosiologis, problematika kepemudaan aktual saat ini dapat diklasifikasikan dalam empat masalah pokok yakni masalah sosial psikologi (psikososial), masalah sosial budaya, masalah sosial ekonomi, dan masalah sosial politik. Keempat masalah pokok yang saling bersinggungan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Masalah psiko-sosial.
Aspek psikologi pertumbuhan berperan penting dalam konteks perkembangan dan eksistensi pemuda. Dimulai dari interaksi sosia sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, seseorang tentu saja dibentuk oleh faktor-faktor lingkungan psiko-sosialnya. Dalam kasus kenakalan remaja misalnya, generasi muda sering terjebak dalam disorientasi nilai-nilai hidup (etika sosial) sehingga sering terjebak dalam aneka penyakit sosial seperti kecanduan narkotika (Napza), degradasi kultur dan kesantunan, serta kecenderungan negatif lainnya. Kondisi semacam ini memerlukan perhatian dan kepedulian semua pihak, demi mencegah lahirnya sebuah generasi bangsa yang mengalami krisis identitas dan kultur sebagai bangsa.
2. Masalah budaya.
Degradasi budaya menjadi trend pada pemuda. Fenomena ini bukanlah generalisasi, sebab ada pula generasi muda yang memiliki concern kuat terhadap budaya bangsa sendiri. Namun demikian, trend krisis budaya mesti terus diwaspadai karena dapat merugikan bangsa secara keseluruhan. Hari-hari ini kita menyaksikan kuatnya penetrasi nilai-nilai asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Apa yang disebut “Modernisasi” justru telah bergeser menjadi “Westernisasi”; yang tidak selaras dengan budaya bangsa (baca: kearifan lokal di Nusantara). Akibat penetrasi nilai-nilai asing, generasi muda cenderung mengalami krisis identitas, sekaligus krisis orientasi. Muncul kecenderungan yang menggelisahkan bahwa eksistensi agama sebagai “pandu rohani” diterima secara acuh tak acuh oleh sebagian dari kalangan generasi muda kita. Kecenderungan lainnya adalah degradasi spirit kebangsaan, memudarnya spirit of the nation, melemahnya idealisme dan patriotisme, serta meningkatnya pragmatisme dan hedonisme.
3. Masalah sosial ekonomi.
Kondisi demografis Indonesia dengan jumlah penduduk yang meningkat pesat, berakibat langsung pada timpangnya rasio hasil pembangunan (baca: kesejahteraan), yakni tidak meratanya sebaran atau distribusi hasil pembangunan nasional. Kondisi ini mengakibatkan ketimpangan dalam struktur kehidupan ekonomi masyarakat. Para pencari kerja terus bertambah sedangkan stok lapangan kerja semakin terbatas, sehingga muncullah pengangguran (terbuka/manifes dan tertutup/laten). Halmana memicu berbagai kerawanan sosial di tengah masyarakat. Konflik horisontal misalnya acapkali dipicu oleh persoalan ekonomi yakni tidak meratanya keadilan ekonomi, dan minimnya kesempatan berusaha atau mendapatkan pekerjaan. Dalam keadaan seperti ini, amat mungkin terjadi kerawanan sosial akibat akumulasi frustrasi sosial. Kemampuan keuangan pemerintah amat terbatas untuk menangani semua permasalahan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, dalam jangka panjang diperlukan langkah-langkah strategis, misalnya mewujudkan sistem pendidikan yang langsung menyentuh kebutuhan ekonomi masyarakat sekaligus dapat menjawab kompleksitas tantangan pembangunan.
4. Masalah sosial politik.
Struktur sosial masyarakat Indonesia yang heterogen membuat pemuda muncul dengan latar belakang dan sub-kultur yang berbeda pula. Dalam domain aspirasi politik misalnya, aspirasi pemuda cenderung bertumbuh dengan mengikuti pola infrastruktur dan suprastruktur politik dalam satu periode tertentu. Hal ini berpengaruh pada lemahnya “sinergi kolektif” untuk melahirkan orientasi dan tata nilai baru sebagai pegangan untuk merintis masa depan. Untuk itu, diperlukan pegangan bersama sebagai fundasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kontek ini, Pancasila sesungguhnya menjadi panduan bersama karena telah terbukti ketangguhannya sebagai ideologi bangsa yang mampu menjembatani kemajemukan bangsa Indonesia. Generasi muda dengan demikian harus memiliki kesadaran kolektif untuk terus-menerus menginternalisasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam konteks sebagai basis berpikir dan praksis orientasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kiranya dimaknai bahwa positioning pemuda dalam konfigurasi kehidupan bangsa, bersentuhan langsung dengan wajah bangsa di masa depan. Itulah sebabnya mengapa pemuda mesti diposisikan sebagai social category mengingat potensi kualitatif dan kuantitatifnya yang bersifat strategis. Berbasiskan pada perspektif pemuda sebagai social category, Pemerintah akan merekonrtsuksi regulasi pembangunan kepemudaan secara permanen dan berkelanjutan .
Bertalian dengan hal tersebut, hari-hari ini Pemerintah berupa untuk membuat regulasi pembangunan kepemudaan dengan pendekatan holistik dan fundamental. Merespons posisi strategis pemuda dan menghadapi realitas problematika kepemudaan di tanah air, maka Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bersama mitra legislatifnya (Komisi X DPR RI) sedang mempersiapkan Rancangan Undang Undang (RUU) Kepemudaan. Bila kelak RUU ini dapat disahkan menjadi Undang Undang, maka para pemuda Indonesia boleh lebih berlega hati dan optimistik, mengingat negara telah menyiapkan payung hukum permanen bagi pembangunan kepemudaan.
Adapun RUU Kepemudaan yang kini sedang memasuki fase sosialisasi publik, substansi materinya diarahkan pada tiga aspek utama sebagai yakni aspek perlindungan, pemberdayaan, dan pengembangan kepemudaan. Dengan demikian, pemuda diharapkan dapat lebih bersikap proaktif sebagai subjek pembangunan, selain untuk memajukan diri dan komunitas kepemudaan, juga mampu mengakselerasi kemajuan pembangunan nasional menuju kemandirian bangsa. Materi UU Kepemudaan justru hendak memosisikan pemuda sebagai potensi bangsa yang mesti mendapat porsi perhatian negara secara memadai, dengan tetap menghormati independensi pemuda sebagai kekuatan intelektual. Reformasi memang mengandaikan bahwa negara mesti mengambil posisi sebagai pihak yang memotivasi, memediasi, dan memfasilitasi eksistensi dan kemajuan pemuda, tanpa pendekatan mobilisasi seperti di masa-masa yang lalu.
Pemerintah tentu saja berharap bahwa sebagai bagian dari pemangku kepentingan (stakeholders) kepemudaan, yakni para mahasiswa, bersama kekuatan intelektual mahasiswa lainnya di kampus-kampus se-Indonesia dapat mengambil prakarsa untuk mengelaborasi dan mengkontribusikan gagasan-gagasan visionernya demi penguatan kualitas materi RUU Kepemudaan. Dengan begitu, nuansa akademik dari materi RUU Kepemudaan juga lebih dapat terwarnakan dalam RUU Kepemudaan.
Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga memiliki optimisme bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, insya Allah, RUU Kepemudaan dapat segera diundangkan untuk memayungi eksistensi pembangunan kepemudaan secara nasional. Mitra legislatif di DPR RI beserta segenap stakeholders pemuda sejauh ini menunjukkan kadar responsibilitas yang tinggi terhadap rencana Pemerintah untuk melahirkan UU Kepemudaan.
Artinya, apabila nanti lahir UU Kepemudaan maka hal itu akan melengkapi pembangunan dua pilar strategis di negeri ini yakni pemuda dan olahraga. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan eksistensi UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Hendaknya dipahami bahwa pemuda dan olahraga merupakan dua pilar bangsa yang sama-sama penting untuk menguatkan nation and character building sekaligus untuk menggelorakan spirit of the nation.
Kendati dililit oleh permasalahan yang kompleks, kita tentu saja yakin bahwa para pemuda Indonesia memiliki ketulusan membangun idealisme demi kemajuan dan kemandirian bangsanya. Kita percaya bahwa dengan generasinya yang datang silih berganti, para pemuda pun terlatih untuk tangguh berdialektika demi menjadi pemimpin bangsa di masa depan.
Demikianlah, pemuda memang tidak boleh merasa lelah untuk dapat meneruskan cita-cita para pendiri bangsa (the founding fathers) yang selaras dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945. Mahasiswa, sebagai bagian inherent dari pemuda, diharapkan dapat merevitalisasi spirit kebangsaan untuk melahirkan kemandirian bangsa. Halmana agar bangsa Indonesia tidak lagi terpuruk di kancah kompetisi global.

Senin, 10 November 2008

Pejuang dan Perjuangan

Perjuangan itu suatu hal yang

mengesankan dan

harus dipertahankan demi terciptanya kejayaan.

Seperti kata kata berikut,Perjuangan tak pernah akan

begitu indah, jika tanpa Pengorbanan..... yang

satu selalu menjadi penyebab yang lain

Dan prosesnya keikhlasan


Seorang Pejuang yang terbaik adalah

Pejuang yang memiliki keikhlasan

Jika kamu berjuang untuk kebenaran,

Jangan berharap bahwa seseorang itu akan menghargai kamu

Tapi yakinlah kebenaran tetap bersama kamu


Jangan pernah takut

untuk Berjuang.... mungkin akan begitu

menyakitkan, dan mungkin akan menyebabkan

kamu sakit dan menderita.....tapi jika kamu tidak

mengikuti kata hati, pada akhirnya kamu akan

menangis....... jauh lebih pedih...karena saat itu

menyadari bahwa kamu tidak pernah memberi....


Perjuangan itu sebuah jalan.

Perjuangan bukan sekedar

perasaan, tapi sebuah komitmen....

Perasaan bisa datang dan pergi begitu saja......

Perjuangan tak harus berakhir bahagia.....

karena perjuangan tidak harus berakhir.....

Pejuang mendengar apa yang tidak dikatakan....

dan mengerti apa yang tidak dijelaskan,

sebab Kepeduliaan tidak datang dari bibir dan

lidah atau pikiran.........

melainkan dari HATI Nurani.


Ketika kamu Berjuang,

Jangan mengharapkan apapun sebagai imbalan,

Karena jika kamu demikian,

kamu bukan berjuang,melainkan.....memeras.

Jika kamu berjuang,

kamu harus siap untuk menerima penderitaan.

Karena jika kamu mengharap kebahagiaan,

kamu bukan Berjuang....

melainkan memanfaatkan.

Lebih baik kehilangan harga diri dan egomu

dari pada membiarkan penindasan terjadi

Lebih baik berjuang bersama kebenaran

Dari pada berselingkuh dengan kemunafikan

Bahaya Sosial Privatisasi Pendidikan

MENGUATNYA liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggung jawab utama pemerintah diserahkan kepada pihak swasta. Karena motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan, tidaklah mengherankan jika privatisasi kemudian merosot menjadi komersialisasi pendidikan. Dunia pendidikan disulap menjadi lahan bisnis dan investasi ekonomi semata. Akibatnya, pendidikan menjadi 'barang' mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT) semakin mahal dan cenderung tidak terkendali.
Privatisasi pendidikan dan komersialisasi pendidikan sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Privatisasi pendidikan jauh lebih luas daripada komersialisasi pendidikan yang dapat diartikan sebagai 'proses perburuan keuntungan ekonomi dalam dunia pendidikan'. Namun demikian, karena naluri keduanya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya', maka antara privatisasi dan komersialisasi menjadi sulit dipisahkan.
Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan dari pengeluaran pemerintah (government expenditures) secara total (Ranis dan Stewart, 1999). Pada periode 1990-1995, Indonesia adalah negara yang memiliki pengeluaran pemerintah yang relatif besar, yakni 17,3% dari GDP, jika dibandingkan dengan Thailand (14,9%) dan Korea Selatan (17,0%). Namun, pengeluaran pemerintah Indonesia yang dialokasikan untuk anggaran pendidikan lebih kecil, yakni 10,5%, dibandingkan Thailand (19,8%) dan Korea Selatan (17,7%).
Data pengeluaran pemerintah di Asia secara rata-rata juga menunjukkan bahwa tingkat privatisasi pendidikan di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan negara lainnya. Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi pendidikan. Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya agar dunia pendidikan lebih efisien dan kompetitif. Pemerintah sering kali dianggap kurang mampu mengelola pendidikan sebagai sektor publik dengan baik. Akibatnya lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang (mandek). Kedua, swastanisasi adalah anak kandung liberalisme yang semakin mengglobal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Privatisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari 'McDonaldisasi masyarakat' (McDonaldization of Society) yang menjunjung prinsip teknologisasi, kuantifikasi, terprediksi dan efisiensi dalam setiap sendi kehidupan. Dalam masyarakat seperti ini, pendidikan tidak lagi dipandang sebagai public goods, melainkan private goods. Sebagaimana barang konsumsi lainnya, pendidikan tidak lagi harus disediakan oleh pemerintah secara massal untuk menjamin harga murah.
Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai sektor pendidikan. Keadaan ini bisa real, dalam arti memang benar pemerintah kekurangan dana, misalnya akibat krisis ekonomi. Namun, bisa juga palsu. Artinya, pemerintah bukan tidak mampu melainkan tidak mau atau tidak memiliki visi untuk berinvestasi di bidang pendidikan. Bahaya sosial Secara teoretis, privatisasi pendidikan sesungguhnya tidak selalu bersifat negatif. Privatisasi pendidikan dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang tersedia bisa digunakan untuk membiayai aspek lain yang lebih mendesak. Misalnya, untuk membiayai 'pendidikan alternatif', seperti pendidikan nonformal untuk kalangan miskin, anak jalanan atau suku terasing.

Minggu, 09 November 2008

MEMBANGKITKAN DAYA KRITIS RAKYAT

Secara teoritis, system nilai dan budaya masyarakat akan ikut berpengaruh terhadap sikap dan perilaku politik yang ditampilkan masyarkat itu sendiri. Dari hal seperti inilah kemudian dikenal istilah budaya politik (politic culture) yang dianut oleh suatu bangsa dan komunitas masyarakat tertentu yang ada. Budaya politik inilah yang membentuk sikap dan perilaku politik masyarakat, baik dalam menentukan pilihan maupun mengambil keputusan. Cita-cita, harapan dan keinginan dalam percaturan politik dinegeri ini mencerminkan hal tersebut.

Perilaku politik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita hari ini tidak terlepas dari peran partai politik yang ada dan juga para politisi kita yang merupakan tokoh yang menjadi contoh bagi masyarakat. Peran partai politik yang berlangsung saat ini memang dirasakan kurang berjalan secara maksimal. Partai Politik tidak mampu melakukan transformasi nilai-nilai pendidikan politik bagi masyarakat. Masyarakat hanya dijadikan objek kepentingan yang ada di dalam partai politik tersebut. Tidak beda halnya dengan tokoh-tokoh politisi yang ada.

Pemilihan Umum hanya tinggal menghitung hitungan bulan saja, partai politik yang dinyatakan lulus faktual oleh KPU mengalami pembekakan menjadi 34 partai, akan tetapi toh kehadiran partai-partai baru ini tetap menampilkan sosok-sosok politikus-politikus lama yang sedikit banyak masyarakat telah mengetahui track record nya. Maka dalam rangka moment yang penting ini, kiranya terjadi suatu perubahan yang lebih baik lagi bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya perubahan pada fisik negara dan lembaga negara saja akan tetapi mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik akan pola tingkah laku, pemikiran dan tanggung jawab masyarakat dalam membangun bangsa ini.

Sistem pemilu yang mengatur hak kampanye peserta PEMILU yang lebih lama kiranya membawa angin segar dalam melakukan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Agar kiranya masyarakat bukan hanya sebagai objek politik saja, tetapi benar-benar difungsikan sebagai bagian terpenting dalam membangun demokrasi dan bangsa ini.

Membangun Rakyat yang kritis dan Sadar

Benarkah masyarakat Indonesia sudah apatis terhadap segala aspek kehidupan yang ada, khususnya tentang permasalahan demokrasi? Melihat kondisi masyarakat kita yang secara umum masih memprihartinkan, maka sangat besar kemungkinan pembangunan di Indonesia tidak akan berhasil untuk melakukan pencerdasan dan kesejahteraan rakyat. Upaya untuk membangun dan menyadarkan masyarakat untuk lebih kritis memang merupakan hal yang tidak mudah. Meski begitu, tetap saja usaha dan program kerja untuk mengubah sikap mental dan memperbaharui cara berpikir masyarakat itu harus selalu dilakukan, agar rakyat tidak hanya menjadi korban politik atau tumbal dari pembangunan.

Berbagai cara dan media sebetulnya bisa dicoba dan diterapkan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat. Demikian pula, berbagai lembaga dan semua orang sebetulnya bisa ambil bagian dan peran untuk membangunkan masyarakat. Sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya, upaya untuk membangunkan masyarakat itu bisa dilakukan melalui media budaya, politik, pendidikan, jalur informal dan nonformal dan lain sebagainya.

Sebagai bagian kecil dari masyarakat yang terdidik dinegeri ini sudah seharusnya kita harus melakukan peran yang maksimal dalam melaksanakan proses penyadaran dan pendampingan pada tingkat akar rumput. Masyarakat terdidik seharusnya tidak hanya melulu masuk dalam arus besar kebijakan pembangunan social dan politik saja, akan tetapi juga masuk pada persoalan-persoalan yang lebih cultural lagi, seperti penyehatan pola pikir masyarakat.

Sedangkan jalur lain yang bisa dimanfaatkan untuk membangunkan masyarakat juga sesungguhnya cukup banyak tersedia dalam kehidupan masyarakat kita. Kita tidak harus menunggu partai politik melaksanakan perannya kepada masyarakat, karena kita tahu sama tahu bahwa partai politik kita saat ini belum mampu melakukan tugasnya sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat menjadi prioritas utama kegiatan partai. Kita mampu melakukan hal itu melalui media pendidikan maupun pendekatan budaya yang bisa kita manfaatkan.

Dari pendekatan budaya sebenarnya banyak yang mampu kita perbuat. Majelis ta’lim, pengajian, paguyuban dan lain hal yang sejenis lagi dengan itu merupakan wadah yang cukup mampu melakukan penyadaran bagi masyarakat. Pengajian tidak hanya monoton berbicara tentang hubungan individu dengan tuhannya tetapi juga lebih harus dibarengi dengan membangun kesadaran anggota pengajian terhadap hubungan dengan masyarakat, bangsa dan negaranya. Sehingga media ini benar-benar mampu dijadikan sarana untuk meningkatkan daya kritis masyarakat dan memunculkan kearifan lokal.

Terlebih lagi dalam menghadapi moment PEMILU ini, diharapkan masyarakat harus benar-benar menggunakan rasionalitasnya untuk memilih saat PEMILU nanti Pengajian-pengajian yang ada bukan lantas digunakan sebagai sarana kampanye salah satu calon, akan tetapi lebih mengajak dan menyadarkan anggotanya untuk tetap kritis dalam menanggapi persoalan yang ada.

Sedangkan melalui program jangka panjang, salah satu jalan untuk memperkuat daya kritis masyarakat saat ini adalah lewat pendidikan. Bagaimana sistem pendidikan kita ditata kembali, kurikulumnya dibenahi dan aspek-aspek lainnya diperbaiki. Sehingga proses pendidikan yang terlaksana dinegeri ini benar-benar sesuai dengan makna substantive dari pendidikan itu sendiri, yakni membangun proses penyadaran bagi masyarakat terhadap segala hal yang terjadi dinegeri ini. Pendidikan bukan menjadikan peserta didik sebagai objek tetapi lebih melibatkan peserta didik dalam membangun pola pikir dan kesadarannya serta tanggap terhadap setiap permasalahan yang ada.

Sikap kritis masyarakat yang terbangun melalui media-media yang ada ini pada akhirnya akan menjadi modal budaya untuk meningkatkan posisi dan daya tawar masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal ini adalah moment pilkadasung gubsu dan wagubsu. Sehingga adanya sebuah otokritik ang dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada. Apa yang dilakukan oleh masyarakat melalui otokritik yang dibangunya pada dasarnya untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama sehingga pemerintah benar-benar mengoreksi setiap langkah-langkah kebijakan pemerintah terhadap masyarakat.

Penutup

Memperhatikan realitas politik masyarakat kita berikut dengan potensi dan lembaga lembaga yang ada, maka mendesak dilakukan adalah menata jaringan dan mengorganisir kekuatan yang tersedia. Kekuatan yang berserak dan sumberdaya yang tidak terorganisir dengan baik akan memperlambat upaya untuk membangunkan masyarakat dari candu kehidupan yang menumpulkan daya kritis mereka.

Dengan meningkatkan kesadaran kritis ditengah-tengah kehidupan masyarakat, maka tidak ada lagi masyarakat yang menjadi tumbal dari tiap-tiap kepentingan politik yang ada. Masyarakat telah mampu melakukan analisis permasalahan dan mampu merespon segala permasalahan yang ada sehingga pada akhirnya diharapkan masyarakat mampu melahirkan solusi terhadap permasalahan yang ada.

PEMILU yang merupakan salah satu pilar demokrasi seharusnya lebih memberikan pendidikan politik bagi masarakat bukan malah memperbodoh masyarakat melalui money politics, dan janji-janji bohong belaka tetapi juga memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk menggunakan haknya dalam melakukan pengkajian terhadap tiap-tiap visi misi kontestan peserta PEMILU dan memberikan kewenangan yang lebih bagi masyarakat untuk menetukan hak pilihnya sendiri. Sehingga masyarakat bukan hanya menjadi tumbal-tumbal politik saja, akan tetapi masyarakat yang menjadi penentu utama dalam memilih calon wakil mereka yang mampu membawa kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pembangunan bangsa.

* Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Medan dan Alumni Departemen Ilmu Politik FISIP USU Medan