Selasa, 18 Desember 2012

BUDAYA APATISME PEMILIH DALAM PILKADA

Pilkada GUBSU dan WAGUBSU 2013 sudah di pelupuk mata. Beragam kiat dilakukan partai dan para Cagub dan Cawagub untuk menjaring simpati rakyat. Mulai iklan di media, pemasangan gambar di jalan-jalan, bahkan di tempel di tiang-tiang listrik dan tembok pinggir parit, hingga lobi-lobi di warung kopi. Tentu, itu sah-sah saja, namanya usaha. Siapa banyak mengumpul suara, berpeluang untuk menang. Masing-masing partai, tentu mempunyai visi, misi dan program yang bervariasi. Karenanya, di sinilah pentingnya bahwa kampanye pemilu bukan sekadar mengajak rakyat untuk memilih partai / Pigur seseorang , akan tetapi bagaimana memberi ruang bagi terbangunnya pendidikan politik rakyat, sehingga rakyat cerdas, dan tidak seperti membeli kucing dalam karung. Melihat dari strategi kampanye partai politik yang masih menggunakan model terselubung tentunya rasa pesimistislah yang mengemuka. Sebab, tidak ada sikap santun, saling menghormati, dan sikap anti disiplin yang menjadi perusak pendidikan demokrasi. Karena bagaimanpun etika dalam politik tetap harus diperhatikan. Pada hakikatnya seorang wakil tentu harus mengenal dan dikenal oleh yang diwakilinya, Seorang Calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus dikenal dan mengenal calon yang dipimpinnya. Proses kenal-mengenal itu menjadi sebuah jembatan komunikasi membangun hubungan yang dilandasi rasa saling percaya. Sehingga pada saatnya setiap posisi mampu memainkan perannya masing – masing dengan sebaik baiknya. Pola komunikasi politik melalui iklan di tepi jalan sebenarnya tidaklah salah. Selama memenuhi peraturan itu adalah hak kandidat. Akan tetapi ketika menempatkannya sebagai jurus utama dalam menjaring dukungan rakyat, hal itu menjadi sesuatu yang pantas dipertanyakan, belum juga cara pemempelan gambar / baliho ditempat tempat yang semestinya tidak ditempeli haruslah diperhatikan misalnya di Pohon yang merusak lingkungan harusnya dihindari. Kondisi demikian ialah sebuah akibat, sebab tak lepas dari pengaruh bagaimana tahapan para Cagub dan Cawagub melangkah hingga ditetapkan sebagai calon. Pertumbuh kembangan politikus negeri ini masih belum menemui formula sebagai sebuah standar yang menjamin kualitas produk caleg. Dibumbui regulasi prosedural yang setiap saat berubah-ubah, kaderisasi yang ada belum begitu meyakinkan sebagai proses demokrasi baik ditinjau dari aspek kapabilitas Cagub dan Cawagub sebagai politisi ataupun dari sisi kedekatan dengan konstituen. Sistem perwakilan sejatinya beranalogi alur pertumbuhan pohon yakni dari bawah ke atas. Seorang wakil lahir dan dibentuk oleh kesepakatan dan mufakat politik dari sel paling bawah akar rumput pemilihnya. Namun keadaan itu tentunya membutuhkan waktu dan proses serta kesadaran politik yang tinggi dari masyarakat. Sayang hal itu merupakan sesuatu yang belum kita miliki karena pada umumnya masyarakat hanya memaknai politik dalam periodesasi pemilu. Pola yang terangkai di negeri ini pun justru berwujud peluncuran produk komersial, dari atas ke bawah. Seorang Cagub dan Cawagub baru memulai proses pengenalan setelah yakin disahkan parpol sebagai calon . Layaknya launching produk baru dalam industri, Cagub dan Cawagub tersebut diperkenalkan partai pada masyarakat yang akan diwakili. Dan dengan strategi seperti itu mereka menargetkan perolehan dukungan maksimal dari masyarakat. Secara logika hal itu tidak mungkin menghasilkan ketulusan dalam proses penunjukan wakil, namun suka tidak suka adalah realita (tuntutan pasar politik). ==> Promosi / Pengenalan Dadakan itulah yang banyak dilakukan Cagub dan Cawagub. Walau tidak semua, tetapi pada kenyataanya mayoritas rakyat tidak mengenal atau belum pernah mendengar sama sekali siapa Cagub dan Cawagub yang akan dipilihnya. Keadaan itu menjadikan iklan sebagai langkah utama dalam merebut citra di mata calon pemilih. Secara substansi politis ada untung-rugi kampanye politik ala promosi komersil tersebut. Positifnya, memberi kesempatan kepada publik (calon pemilih) untuk secara objektif memberi persepsi dan interpretasi pada bahasa partai atau pesan kandidat tanpa terikat/tertekan pada komitmen apa pun. Kekurangannya, pencitraan pasif itu tidak memberi ruang dialogis yang seharusnya tertata. Komunikasi dua arah yang sepantasnya menjadi titik temu bagi pencairan kebekuan politik, pencarian solusi dan keterbukaan berbagai komitmen lainnya. Pada saat ini sebenarnya banyak media yang dapat kita gunakan sebagai media interaktif yang memungkinkan komunikasi 2 arah antara calon dan konstituennya ya’ni melalui siaran dialogis melalui Radio, televisi namun itu memerlukan biaya extra , ada juga yang gratisan namun perlu waktu yaitu melalui media dunia maya ( Fece Book , Bloger dlsb) dan itu kalau seorang Caleg/Cabub mau melaksanakan insyaallah banyak manfaat nya karena konstituen bias mengritik , memberikan saran dengan bebas tanpa adanya tekanan, rasa sungkan dlsb. Apatisme Publik Sebab-akibat di atas pun membuat edisi kampanye Cagub dan Cawagub SUMUT 2013 nanti belum memiliki harga patut guna menawar kejenuhan politik masyarakat. Efektivitas alternatif tersebut belum memberi nilai lebih bagi peningkatan animo masyarakat untuk memberi perhatian serius pada Pilkada sebagai pesta demokrasi. Kita tahu dan prihatin masalah apatisme publik yang mulai akut menyangkut partisipasi politik di negeri ini. Sepanjang tahun lalu di berbagai ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), angka golput mendominasi hasil penghitungan dari seluruh potensi suara di tiap daerah pemilihan. Jawaban atas tanda tanya mengapa masyarakat demikian apatisnya tentu tidak terlepas dari apa yang disebut dengan belajar dari pengalaman. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta tindak tanduk para pejabat yang tidak mengena di hati rakyat niscaya menjadi pelajaran bagi rakyat. Simbiosis mutualisme yang ideal terjalin antara rakyat dan wakil rakyat belum pernah nyata ditemui masyarakat. Namun sangat disayangkan ketika buah dari pelajaran masa lalu itu adalah rasa jera, hilangnya semangat berdemokrasi, kebosanan bahkan keengganan untuk menyalurkan aspirasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena tindak-tanduk sebagian besar abdinya. Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu karena suasana yang ditampilkan selalu tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Saat-saat seperti ini semua pihak merasa dan mengklaim diri sebagai pihak yang dekat dengan rakyat. Padahal saat terpilih janji yang terucap seakan menguap sesaat setelah sumpah diucapkan. Hal itu berakibat munculnya perasaan dieksploitasi di pihak rakyat karena suaranya hanya dimanfatkan untuk Objek kepentingan pribadi dan kelompok Belum diperlakukan sebagai Subjek yang nanti bisa diperdayakan kemampuannya dikemudian hari agar roda pemerintahan kita menjadi yang lebih baik. Perasaan dikhianati itu membuat publik sudah tidak menganggap pemilihan umum sebagai pesta bagi rakyat atau momen penggantungan harapan baru. Sebaliknya pemilu adalah semata-mata pesta bagi mereka yang memupus harapan itu & yang lebih hina lagi saat ini konsituen pilih yang ada DUIT nya untuk bisa dipilih dan dapat menjadi pemenang dalam pergolatan tersebut.