Minggu, 01 Februari 2009

DEGRADASI INTELEKTUAL DAN GERAKAN MAHASISWA

AKHYAR ANSHORI, S.Sos *
Fungsi dari perguruan tinggi terwujud dalam tri darma perguruan tinggi yang meliputi aspek pendidikan, penelitian dan pengabdian. Kampus sebagai sarana pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan berdiskusi, membaca, menulis, berorganisasi, dan sejumlah predikat lainnya. Namun kebiasaan demikian mulai langka untuk dapat kita temukan dan lakoni. Regulasi akademik dan globalisasi, merupakan salah satu penyebabnya. Aturan akademis yang memasung kebebasan mahasiswa berkreasi dan liberalisasi di segala aspek mengharuskan mahasiswa berpikir ulang untuk kegiatan-kegiatan selain akademis.
Kekuatan globalisasi masuk dengan kuat menusuk sampai sudut-sudut kampus. Mahasiswa yang selama ini menyandang predikat Agent of Social Control, telah terbuai dengan sistem yang ada dan malah tak mampu memberikan kontrol sebagaimana mestinya. Jangankan kontrol pada penentu kebijakan (pemerintah), lingkungan sendiri (kampus) pun nyaris tak lagi terdengar. Budaya baca dan diskusi serta aksi terhadap setiap kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat dan mahasiswa, yang dulu diagung-agungkan oleh kalangan kampus, sekarang tak lagi membumi.
Globalisasi juga telah menumbuh kembangkan pragmatisme di kalangan mahasiswa. Kondisi ini terlihat dengan semakin menurunnya tingkat kepekaan mahasiswa terhadap kondisi lingkungan dan permasalahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Hadirnya individualisme di kalangan mahasiswa, juga ditengarai sebagai produk globalisasi. Nilai-nilai pragmatisme ini dianggap salah satu penyebab menurunnya minat mahasiswa untuk membaca, menulis dan berdiskusi.
Kelompok-kelompok kajian yang membahas permasalahan akademis sampai ke pada kelompok-kelompok kajian yang membahas masalah kebangsaan terkini juga sudah punah di lingkungan kampus. Organisasi-organisasi mahasiswa baik intra dan ekstra juga terkesan pada mati suri. Pergerakan yang dilakukan tidak dilandasi pemahaman yang kuat terhadap persoalan inti permasalahan yang dihadapi.
Ini sungguh ironi, pasalnya budaya intelektual seperti membaca, menulis dan berdiskusi merupakan esensi terdalam dari kehidupan mahasiswa. Tanpa itu sulit diharapkan munculnya gagasan-gagasan cemerlang dalam dinamika intelektual mahasiswa. Hal ini juga semakin diperparah oleh birokrat kampus yang tidak memberikan ruang kreatifitas dan kebebasan mahasiswanya.
Regulasi akademik yang ada sekarang, telah memangkas masa studi mahasiswa. Ini mendorong mahasiswa kemudian sibuk dengan persoalan bagaimana dapat selesai dari kampus secepatnya. Aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah terhadap dunia pendidikan tinggi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan serta Peraturan Pemerintah tentang peralih fungsian universitas menjadi Badan Hukum Pendidikan juga semakin memaksa mahasiswa untuk menyegerakan pendidikannya karena aturan masa studi dan kenaikan biaya pendidikan yang diemban mahasiswa.
Sorotan mengenai menurunnya budaya intelektual dan gerakan di kalangan mahasiswa juga mesti dialamatkan pada dosen. Betapa masih minimnya kuantitas dosen yang mau belajar dan melakukan diskusi-diskusi untuk meningkatkan kepekaan intelektualnya. Ditambah lagi banyaknya dosen yang lupa akan tanggung jawab utamanya sebagai pengajar di universitas karena kesibukan kerja lainnya. Bahkan lebih paranya lagi, dosen mencari staf nya atau yang biasa di sebut asisten dosen untuk menggantikannya mengajar di lokal, padahal kapasitas asisten dosen tersebut sangat-sangat jauh dari apa yang diharapkan mahasiswa.
Penurunan intelektual mahasiswa ini sangat-sangat memprihatinkan. Sebab mahasiswa adalah bagian dari masysrakat Indonesia yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih yang berate bagi kemajuan bangsa ini. Semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan sudah semestinya sadar diri dan kembali mengembalikan filosofi dari pendidikan itu sendiri. Paulo Preirre mengatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan proses penyadaran terhadap manusia.
Bagaimana peserta didik akan mampu bangkit dan sadar akan kewajibannya menimbah ilmu, bila mana penanggung jawab pendidikan sendiri tidak memberikan ruang dan memasung kebebasan kreatifitas mahasiswa.