HAM (Hak Asasi Manusia) sesungguhnya hanyalah salah satu instrumen Barat dalam menyebarkan ideologi Kapitalismenya. Paham ini lahir dari sekularisme Barat, yang memisahkan agama dalam urusan kehidupan, yang sarat dengan ide kebebasan/liberalisme.
Berkembangnya ide HAM ini di tengah-tengah kehidupan jelas atas kepentingan Barat. Baratlah yang selama ini paling getol mengkampanyekan HAM. Program utama Kedutaan Besar AS sekarang di Indonesia adalah tentang HAM. Beberapa waktu lalu diwartakan, PBB mengirim? pelapor khusus? Mafred Nowak, ke Indonesia untuk meneliti masalah-masalah yang berkaitan dengan penyiksaan, kekejaman, perlakuan tidak manusiawi, merendahkan dan hukuman. Hasil dan rekomendasinya disampaikan ke Dewan HAM PBB (AntaraNews, 15/9/07).
Dengan HAM, Barat juga terus berupaya menyerang dan memojokkan kaum Muslim dan hukum-hukum Islam. Aturan-aturan Islam yang agung sering digerogoti oleh isu-isu HAM. Syariah dan Khilafah sebagai solusi politis terhadap peradaban yang kronis sering diserang dengan HAM. Pornografi dan pornoaksi yang jelas-jelas merusak tatanan keluarga dan sosial masyarakat, berjalan mulus dengan lokomotif HAM. Lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan sering dibuat gamang dalam menindak berbagai kasus kriminal dan perilaku yang meresahkan masyarakat ketika dihadapkan dengan HAM. Benturan terbesar Mahkamah Konstitusi ketika memutuskan pidana mati terpidana narkotika pun adalah HAM. Di sisi lain, Lembaga HAM tidak lebih dari sekadar keranjang sampah penampung berbagai pengaduan tindak kezaliman, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Dampak Isu HAM di Indonesia
Karena ide dasar HAM nilai-nilai liberal (dalam bahasa lain mereka menyebutnya hak-hak alamiah/natural right) maka liberalisasi politik, liberalisasi sosial, liberalisasi dalam berkeyakinan, ekonomi dan sebagainya pada akhirnya akan menjadi suatu keniscayaan.
Ketika HAM merasuk dalam dunia politik, mainstream politik adalah liberalisasi kehidupan politik. Politik pada akhirnya terfokus pada cara-cara meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Jauh dari tujuan memenuhi dan melayani kepentingan rakyat. Beberapa waktu yang lalu, ketika di beberapa daerah terjadi bencana, para pemimpin dan pejabat malah mengambil sikap mengungsi dan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan (Republika.co.id, 17/09/2007). Lembaga DPR juga semakin mempertontonkan ketidakpeduliannya terhadap rakyat. Kepentingan rakyat seperti Anggaran Pendidikan 20% yang merupakan amanat Konstitusi, jutaan masyarakat yang menuntut pelarangan tindakan pornografi dan pornoaksi dengan UU, interpelasi beras, interpelasi Lapindo, tidak pernah diurus. Yang terjadi justru renovasi Gedung Mewah DPR seharga Rp 40 milyar. Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR menyetujuinya. (Media Indonesia, 06/09/2007)
Carut-marut kehidupan politik semakin transparan ketika kran Orde Reformasi terbuka. Atas nama HAM dan demokrasi semua orang bebas bicara. Atas nama HAM berbagai daerah kemudian melakukan protes dan aksi-aksi ketidakpuasan. Konflik antara pusat dan daerah pada akhirnya sering terjadi. Masing-masing daerah menginginkan pengaturan daerahnya secara otonom. Pada titik akhir, keutuhan NKRI menjadi taruhannya.
Barat pun tidak tinggal diam. RI-Kanada beberapa waktu yang lalu menandatangani MoU proyek senilai Rp 174.3 miliar untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan desentralisasi dan penguatan tata pemerintahan daerah secara merata dan peka jender (AntaraNews, 25/09/2007).
Gejala separatis mulai dari Aceh, Papua, Riau, Maluku, serta beberapa daerah lain disuarakan atas nama HAM. Berpisahnya Timor Timur dari NKRI adalah contoh yang paling jelas bahwa isu HAM begitu efektif untuk mencabik-cabik negeri-negeri Islam.
Rangkaian berikutnya dari dampak HAM adalah pada kehidupan sosial masyarakat. Atas nama HAM, liberalisasi kehidupan sosial bermasyarakat telah menghasilkan pola kehidupan tanpa aturan. Perilaku pornoaksi dan pornografi media begitu menyeruak. Hasil survey tahun 2006 oleh Yayasan Pengembangan Media Anak menyebutkan, hampir 50% sinetron remaja menawarkan kekerasan, propaganda seks bebas maupun atribut sekolah yang tidak benar (Republilka, 2/10/07). Tidak aneh jika negeri ini menjadi salah satu surga terbesar bisnis ?esek-esek? di dunia.
Akibat buruk yang bisa kita rasakan bebasnya tata nilai kehidupan ini adalah tercerabutkan rasa malu dan hilangnya perasaan dosa ketika generasi Muslim melakukan tindak kepornoan. Keadaannya seolah semakin sempurna ketika TV-TV swasta menjualnya dengan melegitimasi HAM dan keniscayaan kehidupan modern.
Dampak buruk lain yang baru-baru ini kita rasakan dari HAM adalah munculnya berbagai sekte-sekte agama, aliran-aliran yang mengatasnamakan Islam, namun hakikatnya menghancurkan Islam. Berdasarkan analisis Aliansi Umat Islam (Alumni), di Indonesia aliran sesat yang mengatasnamakan Islam sejak tahun 1980 sampai tahun 2006 jumlahnya mencapati 250 aliran (Republika, 1/11/07).
Ahmadiyah yang jelas-jelas bukan bagian dari Islam, bahkan meresahkan kebanyakan masyarakat, tetap sulit ditindak ketika dihadapkan dengan HAM. Belum selesai masalah Ahmadiyah, sekarang masyarakat diresahkan dengan aliran sesat Al-Qiyadah al-Islamiyah dengan pemimpinnya Ahmad Moshshaddeq yang mengaku sebagai rasul. Pembelaan mereka dan kaum Liberal di negeri ini sama, tolok-ukurnya HAM. Terkait dengan masalah aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah ini, MUI terus melakukan sosialisasi kepada para ulama dan masyarakat hingga tingkat bawah, termasuk kepolisian. Sebab, selama ini kaum liberal getol membela perusak citra Islam dengan menyerang balik MUI atas nama HAM (Republika, 26/10/07).
Dari penetapan kebebasan individu dalam pemikiran HAM Barat, dihasilkan juga sekolah perekonomian yang akan menjadi inti berdirinya sistem Ekonomi Kapitalis. Sistem ekonomi ini berdiri di atas ide dasar inisiatif individu, kebebasan ekonomi, dan tidak adanya intervensi negara terhadap aktivitas ekonomi individu. Sistem ini juga bersandar pada invisible hand (tangah gaib) bagi tercapainya keseimbangan dan stabilitas dalam negeri. Hak dasar (alamiah) Barat dalam memandang ekonomi juga akan menghasilkan dan bahkan melegalkan kemiskinan. Kepapaan terkonsentrasi pada orang-orang yang lemah karena mereka tidak mampu bertarung bebas dalam kehidupan.
Pada kenyataannya sekarang, pasar bebas, privatisasi di berbagai sektor ekonomi, eksploitasi sumberdaya alam secara bebas oleh swasta adalah konsekuensi logis dari kehidupan ekonomi kapitalis tersebut. Sistem ekonomi pasar bebas membuat negeri-negeri Islam menjadi obyek pasar negara-negara besar. Negeri-negeri Islam di giring pada perjanjian-perjanjian yang mengikat dan melegalkan mereka menjadi negara yang konsumtif.
Akhir-akhir ini pembangunan ekonomi telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Keuntungan dan efesiensi ekonomi serta pertumbuhan yang menjadi tolak ukur, bukan kesejahteraan (Republika, 28/10/07). Kesenjangan sosial pun akan semakin terbuka lebar. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa memicu siklus kekerasan yang selalu terjadi setiap lima tahun terakhir (ANTARA News, 23/10/20).
Privatisasi sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan menjadikan masyarakat semakin terpuruk. Orang miskin seolah dilarang sekolah dan jangan sakit! Kekayaan alam seperti minyak bumi, gas, emas, dan bahan tambang lainnya terus dikeruk oleh swasta/asing, sementara masyarakat hanya bisa menonton. Masyarakat di negeri ini harus mengantri beli minyak tanah, di negeri yang kaya akan minyak. Benar-benar ironis!