MENGUATNYA liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggung jawab utama pemerintah diserahkan kepada pihak swasta. Karena motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan, tidaklah mengherankan jika privatisasi kemudian merosot menjadi komersialisasi pendidikan. Dunia pendidikan disulap menjadi lahan bisnis dan investasi ekonomi semata. Akibatnya, pendidikan menjadi 'barang' mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT) semakin mahal dan cenderung tidak terkendali.
Privatisasi pendidikan dan komersialisasi pendidikan sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Privatisasi pendidikan jauh lebih luas daripada komersialisasi pendidikan yang dapat diartikan sebagai 'proses perburuan keuntungan ekonomi dalam dunia pendidikan'. Namun demikian, karena naluri keduanya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya', maka antara privatisasi dan komersialisasi menjadi sulit dipisahkan.
Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan dari pengeluaran pemerintah (government expenditures) secara total (Ranis dan Stewart, 1999). Pada periode 1990-1995, Indonesia adalah negara yang memiliki pengeluaran pemerintah yang relatif besar, yakni 17,3% dari GDP, jika dibandingkan dengan Thailand (14,9%) dan Korea Selatan (17,0%). Namun, pengeluaran pemerintah Indonesia yang dialokasikan untuk anggaran pendidikan lebih kecil, yakni 10,5%, dibandingkan Thailand (19,8%) dan Korea Selatan (17,7%).
Data pengeluaran pemerintah di Asia secara rata-rata juga menunjukkan bahwa tingkat privatisasi pendidikan di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan negara lainnya. Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi pendidikan. Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya agar dunia pendidikan lebih efisien dan kompetitif. Pemerintah sering kali dianggap kurang mampu mengelola pendidikan sebagai sektor publik dengan baik. Akibatnya lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang (mandek). Kedua, swastanisasi adalah anak kandung liberalisme yang semakin mengglobal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Privatisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari 'McDonaldisasi masyarakat' (McDonaldization of Society) yang menjunjung prinsip teknologisasi, kuantifikasi, terprediksi dan efisiensi dalam setiap sendi kehidupan. Dalam masyarakat seperti ini, pendidikan tidak lagi dipandang sebagai public goods, melainkan private goods. Sebagaimana barang konsumsi lainnya, pendidikan tidak lagi harus disediakan oleh pemerintah secara massal untuk menjamin harga murah.
Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai sektor pendidikan. Keadaan ini bisa real, dalam arti memang benar pemerintah kekurangan dana, misalnya akibat krisis ekonomi. Namun, bisa juga palsu. Artinya, pemerintah bukan tidak mampu melainkan tidak mau atau tidak memiliki visi untuk berinvestasi di bidang pendidikan. Bahaya sosial Secara teoretis, privatisasi pendidikan sesungguhnya tidak selalu bersifat negatif. Privatisasi pendidikan dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang tersedia bisa digunakan untuk membiayai aspek lain yang lebih mendesak. Misalnya, untuk membiayai 'pendidikan alternatif', seperti pendidikan nonformal untuk kalangan miskin, anak jalanan atau suku terasing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar