Setelah suasana sepi sejak "ABRI masuk kampus" pada tahun 1978, kelompok diskusi muncul menjadi kegiatan ”politik” pemuda yang populer. Ini terjadi pada pertengahan 1980-an. Terutama di berbagai kampus di Yogya, Jakarta, dan Bandung, kelompok diskusi ini menghidupkan kembali tradisi pergerakan pemuda yang telah dimulai sejak tahun 1920an,
Seperti uraian John Ingleson (1988) tentang kelompok-kelompok diskusi pemuda pada tahun 1920-an, berbagai kelompok diskusi pada pertengahan 1980-an ini menjadi wahana perbenturan ide-ide dan pencarian bentuk masyarakat baru yang lebih adil dan demokratis. Di dalamnya, kepekaan pemuda pada problem sosial dipertajam.
Berbeda dengan pengelompokan pemuda pada tahun 1960-an yang umumnya mengikuti garis partai dan ideologi, kelompok-kelompok baru ini lebih cair dan lentur. Pada suatu saat, dengan mengundang Nurcholish Madjid sebagai pembicara misalnya, mereka bisa sangat terpukau oleh semangat modernisasi Islam dan merindukan kembalinya Masyumi. Pada saat yang lain, dengan berdiskusi bersama Arief Budiman, mereka larut dan terbuai dalam cita-cita besar kaum sogialis.
Hanya sekitar empat tahun kemudian, kelompok diskusi tidak lagi memadai untuk menampung aspirasi baru yang berkembang. Lahirlah kegiatan lain yang lebih bersifat massal dan politis, yaitu demonstrasi dan mimbar bebas. Seperti kebetulan, panggung politik nasional pun, yang saat itu sedang semarak dengan isu-isu penting seperti tuntutan keterbukaan dan regenerasi kepemimpinan nasional, memberi ruang gerak yang lebih 1eluasa bagi para aktivis untuk lebih nyaring menyuarakan protes.
Maka, menjelang akhir 1980-an, sebagai reaksi terhadap berbagai kasus kontroversial (kasus Lampung, Kedungombo, buku terlarang, d1l.), demonstrasi dan mimbar bebas pun terjadi beruntun. Mereka memberi suatu hal yang dalam dunia politik kita masih sangat langka: kritik-kritik yang tajam dan terbuka.
Seperti juga dalam kelompok-kelompok diskusi, pengelompokan dalam kegiatan "parlemen jalanan" tidak terkait dengan organisasi-organisasi besar kepemudaan, dan tidak juga dengan berbagai organisasi sosial-politik yang lebih besar. Ikatan solidaritas yang mengikat mereka dengan demikian tidak jauh beranjak dari sekadar solidaritas perkawanan, yang dijalin hanya oleh romantika yang sama, yakni kerinduan pada pembaruan masyarakat.
Mudah ditebak, cair dan "soliternya" pengelompokan demikian menyebabkan para aktivis itu sulit memobilisasi dan memperlebar barisan pendukungnya, baik di kalangan kampus, di pabrik-pabrik, apalagi di kalangan pemerintahan. Dalam dua tahun pertama, setiap aksi mereka paling jauh hanya melibatkan ratusan aktivis.
Selain itu, perpecahan jadinya sangat mudah tercipta (atau diciptakan)-perpecahan yang lebih banyak mengikuti garis personal, bukan “politiS” dan ideologis. Dari kalangan mereka sendiri muncul olok olok; kalau lima aktivis berkumpul dan sepakat mengadakan sebuah aksi, setelah itu akan tercipta enam kelompok. Tidak heran jika di antara tokoh-tokoh utama demonstrasi dan kelompok diskusi saling mencungai.
Kegiatan "parlemen jalanan" kemudian melemah, bukan pertama-tama karena pemberangusan oleh otoritas politik, melainkan karena kekurangan dan perpecahan mereka sendiri. Tahun 1990 barangkali menandai titik terendah dari grafik aksi-aksi radikal pemuda.
Namun, pada tahun berikutnya, ada tanda-tanda bahwa aksi-aksi mereka mulai bingkit lagi. Ini terlihat dari meningkatnya protes petani ke DPR dan DPRD, pemogokan buruh yang hampir beruntun, dan aksi-aksi perlindungan lingkungan hidup. Dalam hampir semua peristiwa ini, di dalamnya dengan mudah terlihat peran pemuda yang telah terlibat dalam aksi-aksi protes sebelumnya, baik sekadar sebagai katalisator maupun sebagai aktor yang berdiri di depan. Aksi-aksi mereka yang lain, yaitu misalnya aksi anti-SDSB dan Peringatan Hak-Hak Asasi Manusia se-Dunia pada awal Desember ini, telah melibatkan jumlah aktivis yang semakin besar, bahkan terbesar sejak akhir 1980-an--di Yogya saja, kedua aksi ini diikuti tidak kurang dari tujuh ribu pemuda.
Tentu saja masih harus ditunggu lebih lanjut apakah aksi-aksi itu sekadar pertanda kematian, utau justru isyarat awal sebuah arus yang lebih dahsyat. Konteks politik kita dalam satu atau dua tahun ke depan kurang lebih bisa memberi gambaran kasar ke arah mana gerakan pemuda itu akan terseret.
Seperti yang telah jadi pengetahuan umum, salah satu perkara besar dalam konteks politik kita adalah soal sirkulasi elit. Semakin lama, perkara ini semakin eksplosif, bagai bisul yang terus membusuk. Kita belum pernah mengalami dan mengerti bagaimana memutar roda kepemimpinan tanpa krisis dan keributan. Karenanya, bisa dimengerti jika, dalam menyelesaikan perkara ini nanti, akan terjadi tarik-menarik yang seru antara berbagai kekuatan politik di tingkat pusat. Seperti yang sudah kita alami, kalau hal demikian terjadi, satu, atau semua, kekuatan politik yang bersaing itu akan mencari "kaki" ke bawah, ke kalangan pemuda.
Maka, bagi pemuda, tersaji dua kemungkinan: menjadi ujung tombak pembaruan seperti pada tahun 1966 dan 1998, atau mengalami pemberangusan hingga ke akar-akarnya persis pada tahun 1974 dan 1978. Pada kemungkinan yang pertama, pemuda sekali lagi akan menjadi pahlawan. Pada yang kedua, tuduhan sebagai biang kerok keonaran pasti akan dihujatkan kepadanya.
Kalaulah kemungkinan terakhir yang terjadi, para aktivis muda itu pasti akan surut dari gelanggang politik. Tapi, seperti yang berkali-kali tercatat dalam sejarah pergerakan pemuda kita, suasana sepi dan lesu dalam beberapa tahun akan berganti lagi dengan gairah dan hiruk-pikuk protes-protes mereka. Sejarah memang sering berulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar